IBU


Pagi-pagi sekali tubuhnya yang terlihat masih lelah itu telah dibawanya dalam kesibukan, rutinitas setiap hari. Walau umurnya bisa dikatakan tak  muda lagi namun tekadnya untuk selalu menunaikan tugasnya tak pernah mati. Seusai subuhan, ia menuju tungku, menata kayu-kayu untuk menanak nasi. Beberapa saat kemudian dapur mengepul, asap membubung keluar menembus celah atap rumah. Ia memang lebih sering memasak menggunakan kayu bakar. Ya, setidaknya tungku dibiarkan istirahat saat keperluan mendadak saja, seperti merebus air atau sekedar mengolah mie instan  karena saat itu ia akan memilih memanfaatkan kompor gas pembagian pemerintah, yang aku tahu benar tak jarang pula memanfaatkan kayu bakar karena tak mampu membeli gas, sekalipun kemasan hijau tapi bagiku dimasak dengan kayu bakar atau pun kompor gas sama sekali tak mempengaruhi rasa dalam makanan yang dibuat ibu, semuanya enak.
***
06.30 WIB. Setelah beres mempersiapkan sarapan, aku memang tak sering melihat secara langsung apa dan dimana kegiatan yang ia lakukan. Tapi sebelum meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu aku kerap mendapatinya sedang membersihkan halaman rumah yang memang cukup luas. Ia paling  risih  melihat kondisi lingkungan yang berantakan.
Wanita separuh baya itu cukup dikenal banyak  orang, terlebih warga desa. Ia bergabung dalam kepengurusan ibu-ibu desa yang sering mengadakan perkumpulan dengan para pengurus dari desa-desa se-kecamatan. Ada satu wanita yang selalu menemaninya dalam kegiatan itu, dan mereka sangat akrab, bahkan rumah kami berdekatan. Aku memanggilnya “budhe”, entah mengapa demikian aku tak tahu, seingatku aku juga tak memiliki hubugan saudara dekat dengannya. Namun  beitulah wanita yang kupanggil “ibu” itu mengajarkanku bagaimana memperlakukan orang yang  lebih tua atau pun yang lebih muda.
***
Setibanya aku dari tempat menimba ilmu, di rumah, wanita itu  juga yang menyambutku. Ditawarkannya padaku menu makan siang yang baru saja diangkatnya dari tungku pemanasan. Terkadang apa yang disodorkannya itu adalah menu yang sama seperti apa yang telah  aku makan untuk sarapan. Tapi jarang sekali aku mempermasalahkan akan hal itu. Beberapa waktu belakangan ini kegiatannya memang banyak dihabiskan di rumah karena tak diijinkan bekerja oleh orang yang begitu kami patuhi, ayah. Dan betapa pula Ibu menghormati suaminya itu. Ia tahu betul pekerjaannya tak akan membawa berkah tanpa ridho suami.
Menjelang melepas penat, ketika waktu tak pernah mampu menghalau malam, sesekali aku masih suka tidur bersama wanita yang sangat aku cintai itu. Mungkin orang lain menganggapnya aneh, bocah sebesar diriku ini berpeluk dengan ibunya, seperti anak kecil. Tapi ia sendiri tak keberatan, menganggapnya itu bentuk rasa sayangku terhadapnya. Dalam renungku menuju mimpi aku selalu membubuhkan doa keberkahan akan dirinya. Aku menyayangimu, Ibu!

Dedicated to ma beloved mom :)
SAPTIAN PUTRI ©

Pro-Kontra SNMPTN Undangan; Ajang Menaikkan Pamor Sekolah


Saat ini tersedia banyak jalur untuk bisa memasuki dunia perkuliahan. Yang sedang gencar diberitakan adalah adanya penerimaan calon mahasiswa baru melalui jalur undangan, yakni pendaftar adalah siswa yang memiliki prestasi akademik tinggi dan konsisten pada sekolah yang sama pada semester 3, 4 dan 5 dengan akreditasi sekolah sebagai berikut:
Akreditasi A: 50% terbaik dan konsisten di semester 3, 4, dan 5
Akreditasi B: 30% terbaik dan konsisten di semester 3, 4, dan 5
Akreditasi C: 15% terbaik dan konsisten di semester 3, 4, dan 5
Lainnya : 5% terbaik dan konsisten di semester 3, 4,dan 5
Adanya pendaftaran melalui jalur undangan ini tak urung membuat sekolah-sekolah berusaha agar murid-muridnya lolos seleksi jalur ini. Yang sangat disayangkan adalah bahwa beberapa sekolah melakukan tindakan tak terpuji yaitu menaikkan nilai murid-muridnya agar bisa masuk kriteria jalur undangan. Tindakan mengatrol nilai ini tak hanya akan merugikan pihak universitas penerima calon mahasiswa dari sekolah tersebut. Selain ketidaksinkronan antara nilai dan kemampuan calon mahasiswa, dengan diterimanya murid-murid tersebut akan menurunkan daya saing universitas itu sendiri. Tentunya hal ini juga akan berpengaruh pada akreditasi program studi tertentu.
Bagi sekolah, semakin banyak murid diterima di Perguruan Tinggi Negeri akan meningkatkan rasa ketertarikan masyarakat untuk mendaftarkan anaknya di sekolah tersebut. Terlebih jalur undangan diperuntukkan bagi murid berprestasi, akan membuat gengsi sekolah semakin tinggi.
Nilai raport pada semester 3, 4 dan 5 menjadi syarat utama untuk bisa mengikuti jalur undangan. Tentunya sekolah berlomba memiliki nilai sesuai syarat tersebut, bagaimana caranya akan ditempuh. Dengan memaksakan mengatrol nilai murid-muridnya, sebenarnya akan berdampak buruk tak hanya pada pihak universitas seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tetapi juga bagi pihak sekolah maupun murid itu sendiri. Pihak universitas lama-lama akan kehilangan kepercayaan pada sekolah, sehingga bisa saja universitas akan mencabut kuota pendaftaran jalur undangan bagi sekolah tertentu. Begitu pula dengan murid yang tak akan bisa berkembang karena merasa telah aman untuk mendaftar jalur undangan.
Tak mudah mengetahui sekolah mana yang jujur dalam memberikan nilai pada murid-muridnya. Bahkan sulit menentukan antara sekolah yang benar-benar memiliki kredibilitas baik. Sekolah dengan grade tinggi merasa dirugikan karena sekolah lain dengan mudah mendapat predikat bagus, tetapi predikat tersebut didapat dengan cara yang salah.

NBS 2011

Kenangan lama, hampir dua tahun yang lalu. 23 Maret 2011.
Waktu itu aku dan 9 temen lain mewakili Jogja untuk mengikuti Ranking 1 Trans TV Nokia Bintang Sekolah di Jakarta. \m/

with Pak Tarno - Bim Salabim Jadi Apa Prok Prok Prok

Ngeksis Dulu Sebelum Taping
We Are School Stars!

With Kamidia Radisti





Hello Earth!

Blog baruuu,karena blog lama kabarnya entah kemana..Semoga ini long last yahh :)
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Followers

...